Senin, 02 Juni 2014

Part III menyusuri sejarah masjid pintu seribu Tangerang




Masjid yang dikenal dengan sebutan Masjid Sewu (seribu) sebenarnya bernama Masjid Nurul Yakin tentunya memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan masjid masjid lain terutama di wilayah Banten. Seribu pintu yang menjadi daya tarik paling sohor dan juga terdapat tasbih berukuran raksasa terpajang di salah satu sudut ruangan ini, dibangun tahun 1978 oleh seorang warga keturunan Arab, Al-Faqir warga sekitar memanggilnya. Beliau bergelar Mahdi Hasan Al-Qudratillah Al Muqoddam  dan masih keturunan Syech Abdul Qodil Djaelani yang berarti masih keturunan langsung  Rasulullah sementara seluruh biaya pembangunannya ditanggung sendiri serta pengerjaannya tanpa arsitektur yang jelas alias tanpa blue print.


Soal  pintu seribu...sampai saat ini tidak ada yang dapat memastikan apakah pintu masjid ini benar benar ada seribu, pengelola masjid pun tidak tahu persis berapa jumlahnya. Supandi S, seorang pengurus masjid bagian publikasi menuturkan, hingga sekarang belum diketahui makna yang terkandung di balik arsitektur masjid yang memiliki seribu pintu itu. 


Tibalah Saya di pintu masuk masjid yang dibatasi oleh pagar tralis hitam, rasa penasaran pun semakin kuat yang membawa Saya untuk masuk ke dalam. Ruangan yang panjang dengan ornamen kaligrafi serta foto foto wali songo menghiasi dinding dinding...suasanan di dalam pun terasa sempit lantaran banyaknya penziarah yang wara wiri keluar masuk masjid.




Sebelum masuk ke ruang tawasulan...Saya di minta mengisi buku tamu terlebih dahulu terutama tamu rombongan diharapkan mengisi buku tersebut sebagai data jamaah dan kemudian petugas meminta penziarah untuk membaca terlebih dahulu himbauan pengurus masjid sebelum masuk ke dalam ruang berdoa.

persis di hadapan Saya ( di tempat penerima tamu ), pengurus masjid sudah menyiapkan ruangan ruangan yang dapat digunakan para penziarah beristirahat, lantainya cukup bersih dengan hiasan kaligrafi disekelilingnya.
Untuk memasuki ruang tawasulan kita harus menunggu untuk bergiliran masuk sebab pintu masuknya cukup kecil. Sebelum masuk para jamaah diminta berwudhu terlebih dahulu dengan tempat wudhu yang bersih walau pun harus bergantian karena tempat wudhunya tidak besar.



di dalam ruang doa ( tawasulan ) cukup panjang dan lebar seperti lorong..tetapi lagi lagi kita dihadapkan pada banyak pintu...pintu itu sebenarnya musholla musholla dengan ukuran 4 meter dan diberikan nama, seperti mushola Fathulqorib, Tanbihul-Alqofilin, Durojatun Annasikin, Safinatu-Jannah, Fatimah hingga mushola Ratu Ayu.
Di dalam masjid tidak ada makam seperti layaknya masjid masjid yang lain yang diziarahi karena ada makam kramatnya..justru si pendiri masjid ini sendiri tidak di makamkan di sini melainkan di tempat lain. Yang ada di depan jamaah adalah foto Syech Abdul Qodir Djaelani dan foto pendiri.









Di sepanjang ruangan kita akan banyak melihat angka 999, angka ini merupakan penggabungan jumlah Asma Allah yang berjumlah 99 dan 9 wali songo.
Kini, mushola di dalam masjid digunakan untuk aktifitas pesantren, seperti Tawasul, Dzikir hingga pengajian rutin.

Bersambung ke part IV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar