Sebenarnya mendaki bukanlah olah raga favorit saya. Berjalan keluar
masuk pedalaman dan hutan juga bukan pilihan utama saya untuk
menghabiskan liburan. Namun, berkat gabung dalam komunitas Couchsurfing,
berbagai alternatif menghabiskan waktu luang pun menjadi lebih
bervariasi, termasuk napak tilas ke Baduy.
Seperti yang sudah
diajarkan sejak SD, Baduy dibagi menjadi dua: Baduy Dalam dan Baduy
Luar. Baduy Dalam lebih tertutup. Lokasinya pun lebih masuk ke
pedalaman. Foto tidak diperbolehkan jika memasuki Baduy Dalam, begitu
juga pengunjung asing. Berhubung di dalam kelompok saya ada tiga teman
dari Perancis dan Jerman, Baduy Dalam pun tidak menjadi tujuan.
Saya
agak “bersyukur” kelompok jalan ini tidak ke Baduy Dalam. Medan untuk
menuju tiga desa di bagian paling pinggir Baduy Luar saja sukses membuat
saya sering kehilangan napas dan seluruh otot di tubuh terasa ditarik
kaku. Buat pelancong seperti saya yang terakhir hiking ketika SMA dan
tidak pernah berolahraga, perjalanan keliling Baduy Luar itu ibarat
mengulangi masa perploncoan kuliah. Jadi, benar-benar dibutuhkan stamina
fit dan pemanasan kelenturan otot kaki yang cukup panjang. Jika Anda
tidak terlatih sebelumnya, siap-siaplah menikmati badan kaku selama tiga
hari.
Perjalanan menuju Ciboleger, desa terakhir yang dapat
dijangkau mobil, mulai sekitar tengah malam. Di Ciboleger, kami langsung
disambut patung keluarga petani berwarna putih. Sambil menunggu
pemandu, Pak Erwin, seorang penduduk Baduy Luar, kami mengganjal perut
dengan kopi dan pisang goreng di beberapa warung kecil di situ.
Tujuan
pertama kami adalah jembatan akar. Sesuai dengan namanya, jembatan ini
terbentuk dari rangkaian akar dua pohon besar yang berada kedua sisi
Sungai Cisemeut. Posisi jembatan ini cukup tinggi, sekitar sepuluh meter
dari tanah dan terbentang sekitar dua puluh lima meter. Yang
mengagumkan adalah jembatan ini terbentuk tanpa bantuan paku, semen atau
besi. Benar-benar hanya jalinan kayu dan simpul sabut kelapa atau ijuk
kayu.
Berhubung masih pagi, daun-daun pun masih berembun sehingga
jalan yang kami tempuh licin. Perjalanan harus super hati-hati karena
beberapa titik berada di pinggir jurang. Kepleset sedikit akan sangat
berbahaya. Belum apa-apa, kami sudah olahraga jantung juga karena
deg-degan tingkat tinggi.
Hal yang harus diingat selama berjalan
bersama pemandu penduduk asli adalah definisi jarak yang berbeda. Ketika
akan berangkat menuju jembatan akar, Pak Erwin mengatakan kalau jarak
ke jembatan akar ini pendek. Pulang balik hanya sekitar dua jam.
Ternyata, dua jam itu bagi rombongan kami hanya cukup untuk perjalanan
menuju jembatan. Perlu dua jam lagi untuk kembali ke lokasi asal.
Walau
perjalanan perlu sedikit perjuangan, banyak hal yang bisa dinikmati
selama mendaki dan menuruni bukit dan hutan ini. Gemericik air pancuran,
suara orang menumbuk padi di saung, pemandangan sawah huma (ladang padi
dengan sistem tanpa pengairan), pegunungan dan hutan yang menakjubkan.
Sesekali juga kami bisa melihat beberapa binatang kecil berkeliaran.
Antara lain, berbagai model laba-laba, kalajengking dan kaki seribu
terbesar yang pernah saya lihat.
Setelah
makan siang di rumah Pak Erwin yang disiapkan oleh istrinya, perjalanan
pun dilanjutkan menuju Desa Gajeboh Tiga tempat saya akan menginap.
Medan menuju Desa Gajeboh Tiga ini lebih dahsyat lagi. Selama hampir
tiga jam, trek jalan penuh dengan tanjakan dan turunan curam.
Kelok-keloknya mengalahkan Tembok Besar Cina di Beijing.
Ketika
tiba di rumah penduduk setempat, mereka langsung menyambut ramah
rombongan kami. Mereka juga menawarkan berbagai buah hasil tanaman
seperti pisang dan durian. Saya takjub melihat betapa besar dan
berkelimpahan hasil tanaman mereka. Berhubung belum lewat jam enam sore,
ada waktu cukup untuk merebahkan diri sejenak, mandi dan menikmati
indahnya sungai melintas desa ini sambil melahap durian. Nikmat!
Sekitar
jam sembilan malam, karena tak ada listrik, suasana desa pun sudah
tenang. Semua terlelap. Ini artinya penduduk bangun pagi lebih awal.
Sekitar jam empat pagi, kesibukan tiap rumah pun mulai terdengar.
Para
wanita biasanya bersiap berladang, menumbuk padi atau menenun kain,
sedangkan para lelakinya langsung menuju sungai. Kebanyakan mereka
mengatur balok-balok kayu yang tampaknya akan dijual di kota. Sementara
anak-anak tinggal di rumah sendiri, mengisi waktu luang berkumpul dan
bermain bersama. Karena menjaga tradisi, anak-anak ini memang tidak
bersekolah.
Perjalanan
mengelilingi Desa Gajeboh dilanjutkan dengan titik tujuan pulang. Medan
yang dilewati tidak terlalu berat, walau tetap menanjak karena akan
melihat Desa Gajeboh dari atas. Begitu tiba di titik teratas,
pemandangannya lebih menakjubkan. Terlihat sekali betapa rumah-rumah
orang Baduy hampir tertutup oleh alam. Betapa mereka sangat menghargai
alam sekeliling mereka. Dan, terus terang, pemandangan seperti ini
terasa damai sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar