Istana kepresidenan Yogyakarta awalnya adalah rumah kediaman resmi residen
Ke-18 di Yogyakarta (1823-1825). Ia seorang Belanda bernama Anthonie Hendriks
Smissaert, yang sekaligus merupakan penggagas atau pemrakarsa pembangunan Gedung
Agung ini. Gedung ini didirikan pada bulan Mei 1824 di masa penjajahan Belanda.
Ini berawal dari keinginan adanya "istana" yang berwibawa bagi
residen-residen Belanda. Arsiteknya bernama A. Payen; dia ditunjuk oleh Gubernur
Jenderal Hindia Belanda pada masa itu. Gaya bangunannya mengikuti arsitektur
Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis.
Pecahnya Perang Diponogero (1825-1830), yang oleh Belanda disebut Perang Jawa,
mengakibatkan pembangunan gedung jadi tertunda. Musibah / gempa bumi terjadi dua
kali pada hari yang sama, menyebabkan tempat kediaman resmi residen Belanda itu
runtuh. Namun bangunan baru didirikan dan rampung pada tahun 1869. Bangunan
inilah yang menjadi Gedung Induk Kompleks Istana Kepresidenan Yogyakarta, yang
kini disebut Gedung Negara.
Sejarah juga mencatat bahwa pada tanggal 19 Desember 1927, status
administratif wilayah Yogyakarta sebagai karesidenan ditingkatkan menjadi
provinsi. Penguasa tertinggi Belanda bukan lagi residen, melainkan gubernur.
Dengan demikian, gedung utama yang selesai dibangun pada 1869 tersebut menjadi
kediaman para gubernur Belanda di Yogyakarta hingga masuknya pendudukan Jepang.
Beberapa Gubernur Belanda yang mendiami gedung tersebut adalah J.E Jasper
(1926-1927), P.R.W van Gesseler Verschuur (1929-1932), H.M de Kock (1932-1935),
J. Bijlevel (1935-1940), serta L Adam (1940-1942). Pada masa pendudukan Jepang,
istana ini menjadi kediaman resmi penguasa Jepang di Yogyakarta, yaitu Koochi
Zimmukyoku Tyookan.
Riwayat Gedung Agung itu menjadi sangat penting dan sangat berarti tatkala
pemerintahan Republik Indonesia hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Pada tanggal
6 Januari 1946, Yogyakarta yang mendapat julukan Kota Gudeg tersebut resmi
menjadi ibukota baru Republik Indonesia yang masih muda, dan istana itu pun
berubah menjadi Istana Kepresidenan sebagai kediaman Presiden Soekarno, Presiden
I Republik Indonesia, beserta keluarganya. Sementara Wakil Presiden Mohammad
Hatta dan keluarga ketika itu tinggal di gedung yang sekarang ditempati Korem
072 / Pamungkas, yang tidak jauh dari kompleks istana.
Sejak itu, riwayat istana (terutama fungsi dan perannya) berubah. Pelantikan
Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI (pada tanggal 3 Juni 1947),
diikuti pelantikan sebagai Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia (pada
tanggal 3 Juli 1947), serta lima Kabinet Rebulik yang masih muda itu pun
dibentuk dan dilantik di Istana ini pula.
Pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, Yogyakarta digempur oleh tentara
Belanda di bawah kepemimpinan Jenderal Spoor. Peristiwa yang dikenal dengan
Agresi Militer II itu mengakibatkan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri,
beserta beberapa pembesar lainnya diasingkan ke luar Pulau Jawa, tepatnya ke
Brastagi dan Bangka, dan baru kembali ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949.
Mulai tanggal tersebut, istana kembali berfungsi sebagai tempat kediaman resmi
Presiden. Namun, sejak tanggal 28 Desember 1949, yaitu dengan berpindahnya
Presiden ke Jakarta, istana ini tidak lagi menjadi kediaman Presiden.
Sebuah peristiwa sejarah yang tidak dapat diabaikan adalah fungsi Gedung
Agung pada awalnya berdirinya Republik Indonesia (tanggal 3 Juni 1947). Pada
saat itu Gedung Agung berfungsi sebagai tempat pelantikan Jenderal Soedirman,
selaku Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain itu, selama tiga
tahun (1946-1949), gedung ini berfungsi sebagai tempat kediaman resmi Presiden I
Republik Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada masa dinas Presiden II RI, sejak
tanggal 17 April 1988, Istana Kepresidenan Yogyakarta/Gedung Agung juga
digunakan untuk penyelenggaraan Upacara Taruna-taruna Akabri Udara yang Baru,
dan sekaligus Acara Perpisahan Para Perwira Muda yang Baru Lulus dengan Gubernur
dan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan, sejak tanggal 17 Agustus
1991, secara resmi Istana Kepresidenan Yogyakarta / Gedung Agung digunakan
sebagai tempat memperingati Detik-Detik Proklamasi untuk Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Sejalan dengan fungsinya kini, lebih dari 65 kepala negara dan kepala
pemerintahan dan tamu-tamu negara, telah berkunjung atau bermalam di Gedung
Agung itu. Tamu negara yang pertama berkunjung ke gedung itu adalah Presiden
Rajendra Prasad dari India (1958). Pada tahun enam puluhan, Raja Bhumibol
Adulyajed dari Muangthai (1960) dan Presiden Ayub Khan dari Pakistan (1960)
berkunjung dan bermalam di gedung ini. Setahun kemudian (1961), tamu negara itu
adalah Perdana Menteri Ferhart Abbas dari Aljazair. Pada tahun tujuh puluhan,
yang berkunjung adalah Presiden D. Macapagal dari Filipina (1971), Ratu
Elizabeth II dari Inggris (1974), serta Perdana Menteri Srimavo Bandaranaike
dari Sri Langka (1976).
Kemudian, pada tahun delapan puluhan, tamu negara itu adalah Perdana Menteri
Lee Kuan Yeuw dari Singapura (1980), Yang Dipertuan Sultan Bolkiah dari Brunei
Darussalam (1984). Tamu-tamu penting lain yang pernah beristirahat di Gedung
Agung, antara lain, Putri Sirindhom dari Muanghthai (1984), Ny. Marlin Quayle,
Isteri Wakil Presiden Amerika Serikat (1984), Presiden F. Mitterand dari
Perancis (1988), Pangeran Charles bersama Putri Diana dari Inggris (1989), dan
Kepala Gereja Katolik Paus Paulus Johannes II (1989).
Pada tahun sembilan puluhan, para tamu agung yang berkunjung ke Gedung Agung
itu adalah Yang Dipertuan Agung Sultan Azlan Shah dari Malaysia (1990), Kaisar
Akihito Jepang (1991), dan Putri Basma dari Yordania (1996).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar